Para pembaca rahimakumullah …

Suatu kebutuhan yang sangat mendesak adalah kebutuhan seorang muslim akan ilmu agama, ilmu yang dapat membimbingnya dalam menunaikan tugas utama sebagai manusia yaitu beribadah kepada Allah ta’ala dengan bimbingan wahyu yang telah Allah turunkan yaitu Al Qur’an dan Sunnah, karena sebagaiamana telah kita ketahui bahwa ibadah tidaklah diterima kecuali apabila memenuhi dua syaratnya, yaitu ikhlas dan muta’abah.

Oleh karena itu, kebutuhan seorang muslim terhadap ibadah yang sesuai dengan syari’at Nabi shallahu ‘alaihi wa salam menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda terlebih ketika seorang akan mengerjakannya, untuk itu pada tulisan yang sederhana ini penulis akan menjelaskan terkait suatu permaslahan yang sebentar lagi ramai dilakukan oleh saudara-saudara kita yaitu merayakan malam nisfu sya’ban ditinjau dari dalil-dalil yang shahih dan tentunya penjelasan para ulama sehingga kita mempunyai ilmu dan keyakinan dalam melakukan atau meninggalkan suatu amal.

Para pembaca rahimakumullah…

Perlu diketahui bahwa maksud dari pada menghidupkan malam pada pertengahan bulan sya’ban adalah menghidupkan dengan cara mengkhususkan ibadah tertentu pada malam ini, seperti shalat, dzikir, serta puasa pada siang harinya, baik dikerjakan secara berjamaah di masjid atau di rumah sendiri atau dengan keluarga.

Hal ini sebagaimana kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita yang mana mereka menghidupkan dan merayakan malam nisfu sya’ban dengan cara meramaikan masjid-masjid dan melaksanakan shalat sunnah berjama’ah, berdzikir dan membaca Al Qur’an berbeda dengan malam-malam lainnya itu semua dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Tentu ini adalah niat yang bagus, motivasi yang baik, yaitu melakukan suatu amalan dalam rangka mencari keutamaan dan pahala dari Allah Ta’ala, akan tetapi bagi seorang muslim apabila ingin melakukan suatu ibadah, niat yang baik saja tidak cukup, dia juga mesti memastikan pelaksanaannya dan tata caranya merujuk kepada sebaik-baik petunjuk yaitu petunjuk Nabi yang mulia shallahu ‘alaihi wa sallam, dan amalan sebaik-baik generasi yaitu generasi para sahabat dan yang mengikutinya dengan baik, untuk itu pada tulisan ini penulis berusaha menjelaskan terkait masalah hukum menghidupkan malam nisfu sya’ban melalui dalil-dalil dan penjelasan para ulama, agar apa yang kita lakukan tidak keluar daripada bimbingan dalil dan penjelasan para ulama in syaa Allah.

 

Dalil-Dalil Keutamaan Bulan Sya’ban Dan Pertengahan Bulan Sya’ban

Jika kita merujuk kepada hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam mencari dalil-dalil terkait bulan Sya’ban, maka kita akan temui bahwa hadits-hadits terkait bulan sya’ban dibagi menjadi dua, yang pertama hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Sya’ban secara umum, dan yang kedua hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan pertengahan bulan Sya’ban secara khusus, berikut pemaparannya:

 

  1. Hadits-hadits keutamaan bulan Sya’ban secara umum, diantaranya adalah :

 

  • وعن أسامة بن زيد رضي الله عنهما قال: قلتُ يا رسولَ اللهِ لم أرَك تصومُ من شهرٍ من الشُّهورِ ما تصومُ شعبانَ قال: ((ذاك شهرٌ يغفَلُ النَّاسُ عنه بين رجبَ ورمضانَ وهو شهرٌ تُرفعُ فيهالأعمالُ إلى ربِّ العالمين وأُحِبُّ أن يُرفعَ عملي وأنا صائمٌ))

Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma berkata, aku bertanya: “Wahai Rasulullah aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?, menjawab (Rasulullah): “itu adalah bulan dimana manusia lalai darinya diantara bulan Rajab dan Ramadhan, dan dia (Sya’ban) adalah bulan diamana amalan-amalan diangkat kepada Rabil ‘Alamin dan aku suka amalanku diangkat dalam keadaan aku sedang berbuapasa”. ( H.R An Nasai, no. 2357, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Targib wa tarhib, 1/425).

  • وعن عائشة رضي الله عنها قالت : ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر، ويفطر حتى نقول لا يصوم، وما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر قط إلا شهر رمضان، وما رأيته أكثر صياما فيه منه  في شعبان))

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata : “Adalah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami mengatakan tidak berbuka, dan beliau berbuka sampai kami mengatakan tidak berpuasa, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa dalam sebulan melainkan dalam bulan Sya’ban”. (H.R Bukhari, no. 1969).

  • وعن أم سلمة رضي الله عنها قالت : ((ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم شهرين متتابعين إلا شعبان ورمضان))

Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya’ban dan Ramadhan”. (H.R An Nasai, no. 2352, dishahihkan oleh Al Albani, no. 2174).

 

Dan disana ada hadits-hadits yang lain yang semakna dengan hadits-hadits di atas, yang mana semuanya menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban secara umum dan bagaimana contoh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam memaksimalkan keutamaan itu yaitu dengan banyak berpuasa sunnah pada bulan sya’ban.

 

  1. Hadits-hadits keutamaan pertengahan bulan Sya’ban

Hadits-hadits yang menjelaskan ketutamaan malam nisfu Sya’ban, keutamaan menghidupkannya, melakukan Qiyam pada malam harinya dan berpuasa pada siang harinya sangatlah banyak, akan tetapi kebanyakannya adalah hadits bathil yang tidak shahih, sampai-sampai dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah dalam kitabnya “Aaridhatul Ahwadzi” 2/201 :”tidak ada satu haditspun  dalam masalah malam nisfu Sya’ban yang layak didengar”.

 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata dalam “majmu’ al fatawa” (1/192) : “hadits-hadits keuatamaan malam nisfu Sya’ban semuanya lemah (dho’if)”. Beliau berkata dalam tempat yang lain (1/197) : “tidak ada yang tetap”.

 

Syaikh Shalih bin ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “majmu’ al fatawa” (7/280) : “hadits-hadits yang mengkhusukan malam nishfu Sya’ban dengan Qiyamullail dan  berpuasa pada siang harinya lemah”, beliau berkata pada tempat yang lain (20/30) : “hadits-hadits shalat pada malam hari nisfu Sya’ban shalat-shalat yang memiliki jumlah bilangan ra’kaat tertentu adalah palsu (maudhu’)”.

 

Akan tetapi dari sekian banyak hadits-hadits yang menjelaskan keuatamaan malam nisfu Sya’ban terdapat beberapa hadits yang dihasankan atau dishahihkan oleh Syaikh Nashirudiin Al Albani rahimahullah, diantaranya adalah,

 

  • عن أبي ثعلبة الخشني رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((إذا كان ليلة النصف من شعبان، اطلع الله إلى خلقه، فيغفر للمؤمنين ويملي للكافرين، ويدع أهل الحقد بحقدهم حتى يدعوه)).

Dari Abu Tsa’labah Al Akhusyaniyy radhiallahu ‘anhu, berkata : bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam : “apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, Allah mendatangi hamba-hambanya, maka Allah mengampuni orang-orang mukmin dan menangguhkan orang-orang kafir, dan meninggalkan orang-orang yang dengki disebabkan kedengkian mereka sampai mereka meninggalkannya (kedengkian itu)”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani, dalam al Mu’jam Al Kabir, hal. 22/224, no. 1096, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, hal. 3/381, no. 3833, dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam shahih al jami’, no. 771.

  • وعن معاذ بن جبل رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((يطلع الله إلى جميع خلقه ليلة النصف من شعبان، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن)).

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban, Allah mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali bagi orang yang berbuat syirik atau orang yang memiliki kedengkian.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam al Mu’jam Al Kabir, hal. 20/108, no.1087,  dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya, hal. 1/521, no. 791, dishahihkan oleh syaikh Al Albani rahimahullah dalam shahih at targhib, no. 1026.

Setelah pemaparan hadits-hadits tentang keutamaan bulan Sya’ban secara umum dan keuatamaan malam pertengahan bulan Sya’ban secara khusus, kita ketahui bahwa kebanyakan hadits-hadits yang menjelaskan keuatamaan malam nisfu Sya’ban lemah tidak bisa dijadikan sandaran hukum sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama, kecuali beberapa hadits saja yang telah dihasankan atau dishaihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah, yaitu seperti hadist Abu Tsa’labah dan hadits mu’adz bin jabal, namun itu juga hanya menunjukkan keutamaan malam nisfu Sya’ban secara umum dan tidak menjelaskan amalan-amalan khusus dan tata cara khusus dalam menghidupkan malam itu.

Sehingga masih timbul pertanyaan terkait hukum menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan amalan-amalan khusus seperti shalat alfiayah seratus rakaat dengan membaca setiap ra’kaatnya sepuluh kali surat al ikhas, berdzikir dan mengkhususkan puasa pada siang harinya dan amalan-amalan lainnya yang dikhusukan pada malam nisfu Sya’ban?

Tidak dipungkiri bahwa disana terdapat pendapat yang menganggap hukum menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan mengkhususkan amalan-amalan tertentu dianjurkan atau disunnahkan, dengan menyebutkan beberapa dalil, diantaranya :

Pertama- hadits-hadits umum tentang keutamaan malam nisfu sya’ban, seperti hadits Abu Tsa’labah dan hadits mu’ad bin jabal yang telah disebutkan sebelumnya.

Kedua- hadits-hadits yang mengkhusukan amalan-amalan tertentu pada malan hari pertengahan bulan sya’ban, diantaranya :

  • Shalat seratus rakaat dengan membaca surat al Ikhlash

عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه : ((يا علي، من صلى مائة ركعة ليلة النصف من شعبان، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب، و﴿ قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ  ﴾ عشر مرات، إلا قضى الله له كل حاجة))

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu : “Wahai Ali, barangsiapa shalat seratus raka’at pada malam nisfu sya’ban, membaca di setiap raka’at surat Al Fatihah dan surat Al Ikhlash sepuluh kali, melainkan Allah akan memenuhi baginya seluruh hajatnya”.

Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzy dalam “Al Maudhu’at” 2/127, beliau menghukuminya dengan hadits palsu, Asy Syaukani dalam “al fawaid al majmu’ah”, hal. 50, no.106, mengatakan bahwa hadits ini adalah palsu. 

  • Berpuasa pada siang hari tanggal 15 Sya’ban

عن علي رضي الله عنه : ((إذا كان ليلة نصف شعبان فقوموا ليلها، وصوموا نهارها؛ فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا فيقول : ألا مستغفر لي فأغفر له؟ ألا مسترزق فأرزقه ؟ ألا مبتلى فأعافية ؟ ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر))

Dari Ali rahiallahu ‘anhu : “apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah pada malam harinya, berpuasalah pada siang harinya, Karena sesungguhnya Allah ta’ala turun pada malam itu ketika matahari tenggelam ke langit dunia seraya berkata : “adakah yang meminta ampun kepada ku maka aku akan mengampuninya, adakah yang meminta rizki maka aku akan berikan rizki kepadanya, adakah yang sedang diuji maka aku akan menyembuhkannya, adakah yang ini dan itu sampai terbit fajar”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 261, dan Al Baihaqi dalam Syua’bul Iman, 3/378, no. 3822, Ibnu Rajab menilai hadits ini Dhoif (lemah) dalam “lathaiful Ma’arif”, hal. 261, dan syaikh Albani menilai hadits ini palsu dalam kitab “Dhaiful Jami’’, no. 652.

  • Ampunan pada malam harinya

عن عائشة رضي الله عنها : ((إذا كان ليلة النصف من شعبان، يغفر الله من الذنوب أكثر من عدد شعر غنم كلب))

 

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha : “apabila malam nisfu sya’ban, Allah akan mengampuni dosa-dosa lebih dari jumlah bulu pada kambing-kambingnya kabilah kalbi”.

Hadits ini diriwayatkan oleh, ahmad, no. 26060, Tarmidzi, no. 739, Ibnu Majah, no. 262, Baihaqi, no. 3824, hadits ini dilemahkan oleh Bukhari sebagaimana dalam sunan tirmidzi, 739, dan syaikh Albani dalam dhaif At Tirmidzi.

 

Ini diantara sekian banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan pengkhususan ibadah tertentu pada malam nisfu Sya’ban yang seluruhnya beredar antara hadits palsu dan lemah.

 

Ketiga-  diriwayatkan dari sebagian tabi’in penduduk Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, serta Lukman bin ‘Amir, mereka menganjurkan menghidupkan malam nisyfu Sya’ban, mengagungkannya serta bersungguh-sungguh di dalamnya untuk ibadah.

 

Kurang lebih itulah dalil-dalil yang dibawakan oleh pendapat yang memandang sunnahnya menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan amalan-amalan tertentu, akan tetapi dalil-dalil tersebut tidak selamat dari koreksian dan kritikan yang menunjukkan lemahnya berdalil dengan hal-hal tersebut, berikut penjelasannya:

Bantahan atau kritikan terhadap dalil-dalil sunnahnya menghidupkan malam nisfu sya’ban

 

 Dalil yang pertama

Tetapnya hadits Abu Tsa’labah, Mu’adz bin jabal dan selainnya terkait keutaman malam nisfu Sya’ban secara umum tidak lantas menunjukkan bolehnya mengkhususkan malam tersebut dengan amalan-amalan ibadah tertentu, karena hadits-hadits tersebut seperti hadits-hadits umum lainnya yang menjelaskan tentang keutamaan malam atau hari tertentu.

Justru hadits-hadits tersebut menjelaskan urgensi tauhid dan kesucian jiwa antara kaum muslimin sehingga jangan sampai terjadi kedengkian antara muslim.

Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah setelah menshahihkan hadits Mu’adz bin Jabal berkata :

“ya, tidak lazim dari tetapnya hadits ini menjadikan malam ini menjadi musim berkumpul manusia di dalamnya dan mereka melakukan di dalamnya kebid’ahan-kebid’ahan seperti yang disebutkan oleh muallif rahimahullah”.

Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr rahimahullah berkata :

“Kalaulah di dalamnya (malam nisfu sya’ban) tedapat isyarat bolehnya mengkhususkannya dengan shalat malam, dan siang harinya dengan berpuasa sudah pasti para salaf lebih dahulu melakukan itu, terkhusus para shahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang mana mereka adalah orang-orang yang pertama masuk islam, maka kita tidak akan beruntung dengan suatu kebaikan yang mereka lalai darinya atau mereka tidak melakukannya padahal mereka meyakini keutamaannya dan besar pahalannya”.

 

Dalil yang kedua 

Berkaitan dengan riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban, seperti shalat 100 raka’at dengan membaca surat al ikhash, berpuasa siang harinya dan lainnya jelas bahwa riwayat-riwayat itu beredar antara Palsu dan Lemah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu pada malam nisfu Sya’ban.

 

Dalil yang ketiga

Disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab “Lathaiful Ma’arif”, bahwa sebagian Tabi’in penduduk Syam seperti khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan selainnya menghidupkan malam nisfu Sya’ban, yang mana teks terjemahannya sebagai berikut,

“Dan malam nisfu sya’ban adalah para Tabi’in dari penduduk Syam seperti khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan selain mereka mengagungkannya, bersungguh-sungguh beribadah di dalamnya, dari merekalah manusia mengambil keutamaanya (malam nisfu sya’ban) dan mengagungkannya, sungguh telah dikatakan bahwa hal itu karena telah sampai kepada mereka atsar-atsar israiliyaat, kemudian ketika hal ini (menghidupkan nisfu sya’ban) telah tersohor dari mereka di negeri-negeri, maka orang-orangpun berselisih dalam hal itu, sebagian mereka menerimanya, sebagian mereka menyetujuinya dalam hal mengagungkannya, dari mereka adalah sekelompok ahli ibadah dari Bashrah dan selain mereka, dan kebanyakan ulama hijaz mengingkari hal itu diantara mereka adalah ‘Atha dan Ibnu Abi Mulaikah, telah menukil hal itu Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari para Fuqaha penduduk Madinah, dan itu pendapat pengikut Malik dan selain mereka, mereka berkata “itu semua adalah bid’ah”.

Dari perkataan Imam Ibnu Rajab rahimahullah tersebut bisa kita simpulkan, bahwa :

  1. Menghidupkan malam dan keyakinan terhadap kekhususan dengan suatu amalan tertentu pada pertengahan bulan Sya’ban tidak pernah ada pada zaman Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum.
  2. Bahwa hadits-hadits yang tersebar di tengah-tengah masyarakat dan telah dilemahkan oleh para ulama disamakan dengan riwayat israiliyaat.
  3. Banyak dari Tabi’in yang lain mengingkari perbuatan tersebut, seperti Atha, Ibnu Abi Mulaikah dan para sahabat Imam Malik.
  4. Mayoritas penduduk hijaz menganggapnya sebagai bid’ah.
  5. Mereka yaitu para Tabi’in dari negeri Syam berijtihad sesuai dengan kabar yang sampai kepada mereka, maka seorang yang berijtihad apabila benar mendapatkan dua pahala, tapi jika salah maka mendapatkan satu pahala.

Akan tetapi setelah jelas bagi kita bahwa dalil-dalil yang berkaitan dengan keutamaan dan kekhususan amalan-amalan dalam malam nisfu sya’ban itu beredar diantara palsu dan lemah, maka tidak boleh bagi kita beribadah dengan bersandarkan kepada riwayat-riwayat itu.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

“Dan telah sampai di dalamnya juga, yaitu malam nisfu Sya’ban atsar-atsar dari sebagian salaf dari sebagian penduduk Syam dan selain mereka, dan hadits-hadits yang sampai berkaitan dengan keutamaannya seluruhnya lemah (dhaif), dan sebagiannya palsu (maudhu’), dan termasuk yang telah memperingatkan hal itu adalah Al Hafidz Ibnu Rajab dalam kitabnya “Lathaiful Ma’arif” sampai beliau mengatakan “adapun merayakan malam nisfu Sya’ban, maka tidak memiliki dasar yang shahih sehingga diambillah untuk hal itu (merayakan malam nisfu sya’ban) dengan hadits-hadits yang lemah”.

Penutup

Para pembaca rahimakumullah …

Setelah kita membaca penjelasan pada tulisan ini, maka sampailah kita pada kesimpulan bahwa menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ritual-ritual tertentu adalah perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan Para sahabat radhiallahu ‘anhum, bahkan para ulama hadits menyebutkan bahwa tidak ada riwayat yang shahih terkait keutamaan dan kekhususan amalan tertentu pada malam nisfu sya’ban. Adapun seseorang yang terbiasa melakukan qiyamullail, berpuasa pada siang harinya, maka hal ini tidak mengapa karena itu sudah menjadi rutinitas yang dilakukan bukan hanya pada malam nisfu Sya’ban, yang tidak diperbolehkan adalah mengkhususkan amalan-amalan tertentu pada malam tersebut yang tidak pernah dilakukan pada malam-malam yang lainnya. Wallahu A’lam

Pada akhirnya kita harus menyakini seyakin-yakinnya bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah seorang muslim beribadah kecuali harus dibangun diatas sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Semoga Allah ta’ala senantiasa membimbing kita agar dapat beramal sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman sebaik-baik generasi yaitu para salaful ummah.

 

Referensi :

  1. Muhammad bin Musa Alu Nashr, Hidayatul Hairan ila hukmi lailatin Nishfi min Sya’ban
  2. Ibrahim bin Muhammad Shiddik, wakafat ma’ Lailah nisfi min sya’ban wa ma warada fi fadhliha.
  3. Al Qismul ‘Ilmiy bi muassasati ad durar as Saniyah, ahaditsu lailatin nishfi min sya’ban.

 

Ditulis oleh : Ustadz Teguh Hidayat, Lc, ME.

(Pimpinan Pesantren Da’wah Mubarokah Rangkasbitung)

Leave a Reply

Ada yang bisa kami bantu?